zefanya
Minggu, 14 Februari 2016
Rabu, 16 Desember 2015
Sisi berbeda Bali
Memang pulau di Indonesia yang
paling terkenal itu pulau Dewata alias Bali. Tapi kayaknya bosen kalau ke Bali
hanya ke tempat itu-itu saja seperti Kuta, Ubud, Seminyak, Denpasar. Coba kita
intip sisi yang berbeda dari Bali.
Juni 2015 kemarin saya pergi
bersama keluarga saya ke Bali. Saya memutuskan kali ini ingin mengutak ngutik
Bali dari sisi yang berbeda. Maka saya putuskan untuk mengunjungi Kintamani.
Sekitar 2 jam perjalanan menggunakan mobil dari Seminyak. Melewati pantai dan
pedesaan Penglipuran, Bangli dan akhirnya sampai di Kintamani. Kintamani yang
saya tuju bukan desa Kintamani nya, melainkan pemandangan Gunung dan Danau Batur dari atas Kintamani.
Lalu apa yang menarik dari Gunung
Batur ini? Gunung Batur memiliki danau yang dinamakan Danau Batur. Aliran air
dari Danau Batur ini dianggap orang Bali sebagai “Tirta Suci” yang bermunculan
menjadi mata air di sejumlah titik di Bali. Danau Batur ini bisa dilihat dari
atas Warung Baling Baling, Kintamani. Dan btw, makanan di Warung Baling Baling
ini enaaaaaaaaaakkkkk paraaaahhhhhh. Harus pesen Ikan Mujair yang ditangkap
dari Danau Batur, Ikan Mujair ini dihidangkan dengan Basa Matah seharga Rp.
45,000 saja.
Sepulangnya dari Kintamani, kita
mampir ke desa Penglipuran, Bangli. Desa ini sudah terbuka untuk umum, dan
biasanya kalau siang hari rame turis lokal. Di dalam desa ini terdapat komplek
perumahan adat Bali yang masih tradisional. Juga di ujung jalan komplek ini terdapat Pura yang tersedia sebagai salah satu fasilitas umum di Desa ini.
Kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling Pura” yang artinya tempat suci
untuk mengenang para leluhur.
Di desa ini terdapat minuman khas tradisional
yang bernama Loloh Cemcem, yang terbuat dari daun cemcem dan daun kloncing yang
sangat baik untuk menurunkan tekanan darah dan baik juga untuk pencernaan. Bisa
dibeli dengan harga Rp, 5,000 saja. Rasanya pun unik, seperti nano nano. Kita
minum Loloh Cemcem dalam perjalanan pulang, lumayan juga dapat menghilangkan rasa
pegal-pegal.
Ternyata Bali masih punya banyak
objek wisata yang dapat kita lihat. Jadi, kalau ke Bali, jangan Cuma ngincer
Kuta aja ya guyssss J
Label:
Bali,
bangli,
batur,
danaubatur,
desaadat,
desapenglipuran,
gunungbatur,
indonesia,
kintamani,
kuliner,
Liburan,
lolohcemcem,
tradisional,
Travel,
traveling,
wisata
Selasa, 15 Desember 2015
Isolasi Diri ke Baduy Dalam
Mengunjungi salah satu suku
tertua di ranah tanah air ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Suku
tersebut adalah Urang Kanekes atau yang biasa dikenal dengan nama Suku Baduy. Suku
Baduy ini adalah suku yang mengisolasikan diri dari dunia luar. Segala perkembangan
jaman tidak masuk ke area kehidupan suku ini. Terletak di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Banten, 40km dari kota Rangkasbitung.
Hari itu tanggal 30 Mei 2015,
saya mengisolasikan diri ke Baduy Dalam.
Perjalanan dimulai dari Tanah
Abang, Jakarta menggunakan kereta menuju Rangkasbitung, Banten. Kemudian
dilanjutkan menggunakan Elf ke perbatasan Baduy Luar. Dan dilanjuti dengan
langkah kaki menuju Baduy Dalam.
Saya menetap 1 hari di desa Cikeusik,
Baduy Dalam, berbaur dengan budaya asli Baduy Dalam. Saya melepas alas kaki
saya, dan mencoba untuk berbaur dengan budaya asli mereka. Mandi di sungai,
tidur ditemani dengan beribu bintang di langit dengan suara aliran sungai.
Hening dan sejuk. Dan paling tidak disangka adalah tidak ada nyamuk sama
sekali.
Saya kagum dengan orang Baduy
Dalam, mereka juga ternyata pecinta binatang. Tidak ada binatang yang mereka
bunuh, kecuali ayam, itupun pada hari perayaan tertentu mereka makan. Pagi
mereka pergi ke ladang, siang menuju sore mereka pulang kembali ke rumah.
Begitu seterusnya. Rumahpun ketika mereka ingin pindah lahan, mereka angkut
sendiri rumah bambu mereka.
Saya ikut makan di atas daun
pisang, menaburi nasi tanakan dari bambu hasil bikinan mereka. Pake teri kacang
dan kecap manis sudah mantap sekali rasanya. Dan paling penting, tidak bisa menggunakan
handphone di sana karena tidak ada signal. Dan tidak boleh foto-foto, saya
menghormati aturan tersebut dan hanya foto-foto di Baduy Luar saja.
Yang saya dapatkan dari
perjalanan pengisolasian diri saya kali ini adalah belajar menghormati suku
lain, termasuk segala aturan mereka, berbaur dengan kehidupan mereka maka
disitulah hening itu tercipta. Kembali ke Jakarta dengan perasaan bahagia
sekali, seolah habis bangun tidur, besoknya libur. Begitulah rasanya.
Senin, 14 Desember 2015
Candi Ceto, Candi di Atas Gunung
Tak henti-hentinya saya mencintai budaya asli berikut alam Indonesia. Setiap ada rencana terbang keliling Indonesia, pasti saya sempatkan melihat budaya asli daerah tersebut.
Waktu itu bulan Agustus 2015, saya terbang ke Solo, Jawa Tengah. Kemudian saya menyempatkan diri berkunjung ke salah satu peninggalan masa akhir Majapahit yang bernama Candi Ceto.
Dari bandara Adi Sumarmo saya langsung bergegas menuju ke atas Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 2 jam menggunakan mobil.
Waktu itu bulan Agustus 2015, saya terbang ke Solo, Jawa Tengah. Kemudian saya menyempatkan diri berkunjung ke salah satu peninggalan masa akhir Majapahit yang bernama Candi Ceto.
Dari bandara Adi Sumarmo saya langsung bergegas menuju ke atas Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 2 jam menggunakan mobil.
Pemandangan menuju Candi ini juga
tak kalah menariknya. Sangat jarang ditemukan di pusat kota Solo. Serba hijau
dan jalanannya pun menanjak ke atas. Udaranya dingin dan sejuk.
Candi yang dibuat oleh Van De
Vlies pada tahun 1842 ini, merupakan peninggalan Majapahit, dimana komplek
Candi digunakan oleh penduduk setempat sebagai tempat pemujaan. Ada rumor Candi ini dibangun sengaja menghadap ke Barat untuk memuja Gunung Merapi.
Struktur daripada candi ini
adalah berundak-undak. Saat ini hanya tinggal 13 teras saja dengan total 9
tingkatan undakan.
Relief yang saya temui pun kebanyakan adalah relief manusia yang menyerupai wayang kulit kalau menurut Wikipedia, dan menyerupai sejarah akhir Hindu-Buddha. Konon katanya, relief wayang kulit ini merupakan sinkretisme antara kebudayaan India dan Jawa.
Hening Biru Bunaken
Bulan Oktober 2015 saya dan teman - teman menyelam di Taman Laut Bunaken, Manado.
Ini yang kedua kalinya saya menyelami hening biru Bunaken. Pertama kali waktu
tahun 2013, itupun pertama kalinya saya melakukan penyelaman, saya langsung
jatuh cinta dengan keindahan bawah laut pulau ini.
Untuk sampai ke Manado dari Jakarta sih gampang
banget, tersedia direct flight ke
Manado dengan menggunakan Garuda Indonesia. Hotel-hotel di Manado juga
bagus-bagus. Saya biasa menginap di Manado Tateli Beach Resort, dan menggunakan
jasa penyelaman dari Minanga Divers yang tersedia di hotel. Dari hotel menuju
Taman Laut Bunaken sekitar 1 jam menggunakan speed boat.
Di Taman Laut Bunaken terdapat 5 pulau, yaitu:
Bunaken, Manado Tua, Siladen, Mantehage, dan Naen. Dengan total area seluas 75Ha
ini, terdapat kurang lebih 390 spesies biota laut.
- Batu Kapal
- Jalan Masuk
- Baraccuda
- Bango
- Tanjung Kopi
- Pangulingan
- Negeri
- Muka Gereja
- Mike
- Sachiko
- Timur 1
- Timur 2
- Pangalisang
- Muka Kampung
- Lekuan 1
- Lekuan 2
- Lekuan 3
- Celah-celah
- Alung Banua
- Fukui
- Ron
- Mandolin
- Tenga
- Raymond
- Siladen
- Tanjung Pisok
- Black Rock
- Molas Wreck
- Napo Sario
- Gas Station
- M.U.A
- BDC House Reef
- U.W.P.A
- City Extra
- Sweet Basil
- Sedona Corner
- MD House Reef
- Buloh 1
- Buloh 2
- Prima Reef 1
- Prima Reef 2
- Prima Reef 3
- Tambala
- Po’opoh 1
- Po’opoh 2
Terakhir saya menyelam di Fukui, Lekuan 2, Muka
Kampung, Muka Gereja, Mandolin, dan Lekuan 3. Di antara dive spot tersebut saya menemukan black tip sharks, napoleon,
lobsters, beberapa jenis nudi branch, ghost pipe fish, dan penyu sisik.
Tidak hanya biota lautnya saja yang mengaggumkan,
makanan di Manado juga nggak kalah menariknya. Saya biasa makan di seberang
restaurant City Extra. Tempat makan pinggir jalan dengan makanan khas nya yaitu
ikan bakar. Tapi tidak hanya ikan bakar saja, melainkan saya juga pesan ikang
woku blanga yang rasanya adodo pe sadap kali jo! Dicampur dengan sambal roa dan
dabu-dabu yang bikin pingin balik lagi ke situ. Harganya memang tidak murah, 1
orang sekitar 70rb-an.
Saya tidak sabar menyelami tebing – tebing di Taman
Laut Bunaken dengan spot –spot yang
berbeda lagi. Sampai bertemu kembali, Bunaken!
Langganan:
Postingan (Atom)