Rabu, 16 Desember 2015

Sisi berbeda Bali


Memang pulau di Indonesia yang paling terkenal itu pulau Dewata alias Bali. Tapi kayaknya bosen kalau ke Bali hanya ke tempat itu-itu saja seperti Kuta, Ubud, Seminyak, Denpasar. Coba kita intip sisi yang berbeda dari Bali.
Juni 2015 kemarin saya pergi bersama keluarga saya ke Bali. Saya memutuskan kali ini ingin mengutak ngutik Bali dari sisi yang berbeda. Maka saya putuskan untuk mengunjungi Kintamani. Sekitar 2 jam perjalanan menggunakan mobil dari Seminyak. Melewati pantai dan pedesaan Penglipuran, Bangli dan akhirnya sampai di Kintamani. Kintamani yang saya tuju bukan desa Kintamani nya, melainkan pemandangan Gunung  dan Danau Batur dari atas Kintamani.
 
Lalu apa yang menarik dari Gunung Batur ini? Gunung Batur memiliki danau yang dinamakan Danau Batur. Aliran air dari Danau Batur ini dianggap orang Bali sebagai “Tirta Suci” yang bermunculan menjadi mata air di sejumlah titik di Bali. Danau Batur ini bisa dilihat dari atas Warung Baling Baling, Kintamani. Dan btw, makanan di Warung Baling Baling ini enaaaaaaaaaakkkkk paraaaahhhhhh. Harus pesen Ikan Mujair yang ditangkap dari Danau Batur, Ikan Mujair ini dihidangkan dengan Basa Matah seharga Rp. 45,000 saja.

Sepulangnya dari Kintamani, kita mampir ke desa Penglipuran, Bangli. Desa ini sudah terbuka untuk umum, dan biasanya kalau siang hari rame turis lokal. Di dalam desa ini terdapat komplek perumahan adat Bali yang masih tradisional. Juga di ujung jalan  komplek ini terdapat Pura yang tersedia  sebagai salah satu fasilitas umum di Desa ini. Kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling Pura” yang artinya tempat suci untuk mengenang para leluhur.
Di desa ini terdapat minuman khas tradisional yang bernama Loloh Cemcem, yang terbuat dari daun cemcem dan daun kloncing yang sangat baik untuk menurunkan tekanan darah dan baik juga untuk pencernaan. Bisa dibeli dengan harga Rp, 5,000 saja. Rasanya pun unik, seperti nano nano. Kita minum Loloh Cemcem dalam perjalanan pulang, lumayan juga dapat menghilangkan rasa pegal-pegal.
Ternyata Bali masih punya banyak objek wisata yang dapat kita lihat. Jadi, kalau ke Bali, jangan Cuma ngincer Kuta aja ya guyssss J

Selasa, 15 Desember 2015

Isolasi Diri ke Baduy Dalam


Mengunjungi salah satu suku tertua di ranah tanah air ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Suku tersebut adalah Urang Kanekes atau yang biasa dikenal dengan nama Suku Baduy. Suku Baduy ini adalah suku yang mengisolasikan diri dari dunia luar. Segala perkembangan jaman tidak masuk ke area kehidupan suku ini. Terletak di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Banten, 40km dari kota Rangkasbitung.
Hari itu tanggal 30 Mei 2015, saya mengisolasikan diri ke Baduy Dalam.
Perjalanan dimulai dari Tanah Abang, Jakarta menggunakan kereta menuju Rangkasbitung, Banten. Kemudian dilanjutkan menggunakan Elf ke perbatasan Baduy Luar. Dan dilanjuti dengan langkah kaki menuju Baduy Dalam.
Saya menetap 1 hari di desa Cikeusik, Baduy Dalam, berbaur dengan budaya asli Baduy Dalam. Saya melepas alas kaki saya, dan mencoba untuk berbaur dengan budaya asli mereka. Mandi di sungai, tidur ditemani dengan beribu bintang di langit dengan suara aliran sungai. Hening dan sejuk. Dan paling tidak disangka adalah tidak ada nyamuk sama sekali.
Saya kagum dengan orang Baduy Dalam, mereka juga ternyata pecinta binatang. Tidak ada binatang yang mereka bunuh, kecuali ayam, itupun pada hari perayaan tertentu mereka makan. Pagi mereka pergi ke ladang, siang menuju sore mereka pulang kembali ke rumah. Begitu seterusnya. Rumahpun ketika mereka ingin pindah lahan, mereka angkut sendiri rumah bambu mereka.
Saya ikut makan di atas daun pisang, menaburi nasi tanakan dari bambu hasil bikinan mereka. Pake teri kacang dan kecap manis sudah mantap sekali rasanya. Dan paling penting, tidak bisa menggunakan handphone di sana karena tidak ada signal. Dan tidak boleh foto-foto, saya menghormati aturan tersebut dan hanya foto-foto di Baduy Luar saja.
Yang saya dapatkan dari perjalanan pengisolasian diri saya kali ini adalah belajar menghormati suku lain, termasuk segala aturan mereka, berbaur dengan kehidupan mereka maka disitulah hening itu tercipta. Kembali ke Jakarta dengan perasaan bahagia sekali, seolah habis bangun tidur, besoknya libur. Begitulah rasanya.

Senin, 14 Desember 2015

Candi Ceto, Candi di Atas Gunung


Tak henti-hentinya saya mencintai budaya asli berikut alam Indonesia. Setiap ada rencana terbang keliling Indonesia, pasti saya sempatkan melihat budaya asli daerah tersebut.
Waktu itu bulan Agustus 2015, saya terbang ke Solo, Jawa Tengah. Kemudian saya menyempatkan diri berkunjung ke salah satu peninggalan masa akhir Majapahit yang bernama Candi Ceto.

Dari bandara Adi Sumarmo saya langsung bergegas menuju ke atas Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 2 jam menggunakan mobil.
Pemandangan menuju Candi ini juga tak kalah menariknya. Sangat jarang ditemukan di pusat kota Solo. Serba hijau dan jalanannya pun menanjak ke atas. Udaranya dingin dan sejuk.
Candi yang dibuat oleh Van De Vlies pada tahun 1842 ini, merupakan peninggalan Majapahit, dimana komplek Candi digunakan oleh penduduk setempat sebagai tempat pemujaan. Ada rumor Candi ini dibangun sengaja menghadap ke Barat untuk memuja Gunung Merapi.
Struktur daripada candi ini adalah berundak-undak. Saat ini hanya tinggal 13 teras saja dengan total 9 tingkatan undakan.

Relief yang saya temui pun kebanyakan adalah relief manusia  yang menyerupai wayang kulit kalau menurut Wikipedia, dan menyerupai sejarah akhir Hindu-Buddha. Konon katanya, relief wayang kulit ini merupakan sinkretisme antara kebudayaan India dan Jawa.
Banyak turis lokal dan asing yang mengunjungi Candi ini. Mayoritas lokal kalau siang hari. Disarankan datang ke Candi ini memang pagi hari, lebih sepi.
Pulang dari Candi Ceto disarankan mampir ke kedai-kedai teh sambil menikmati pemandangan sawah di lereng gunung. Nikmaaattttt..!!!

Hening Biru Bunaken


Bulan Oktober 2015 saya dan teman -  teman menyelam di Taman Laut Bunaken, Manado. Ini yang kedua kalinya saya menyelami hening biru Bunaken. Pertama kali waktu tahun 2013, itupun pertama kalinya saya melakukan penyelaman, saya langsung jatuh cinta dengan keindahan bawah laut pulau ini.
Untuk sampai ke Manado dari Jakarta sih gampang banget, tersedia direct flight ke Manado dengan menggunakan Garuda Indonesia. Hotel-hotel di Manado juga bagus-bagus. Saya biasa menginap di Manado Tateli Beach Resort, dan menggunakan jasa penyelaman dari Minanga Divers yang tersedia di hotel. Dari hotel menuju Taman Laut Bunaken sekitar 1 jam menggunakan speed boat.

Di Taman Laut Bunaken terdapat 5 pulau, yaitu: Bunaken, Manado Tua, Siladen, Mantehage, dan Naen. Dengan total area seluas 75Ha ini, terdapat kurang lebih 390 spesies biota laut.
Terdapat kurang lebih 45 dive spot  di Taman Laut Bunaken, yaitu:
  1. Batu Kapal
  2. Jalan Masuk
  3. Baraccuda
  4. Bango
  5. Tanjung Kopi
  6. Pangulingan
  7. Negeri
  8. Muka Gereja
  9. Mike
  10. Sachiko
  11. Timur 1
  12. Timur 2
  13. Pangalisang
  14. Muka Kampung
  15. Lekuan 1
  16. Lekuan 2
  17. Lekuan 3
  18. Celah-celah
  19. Alung Banua
  20. Fukui
  21. Ron
  22. Mandolin
  23. Tenga
  24. Raymond
  25. Siladen
  26. Tanjung Pisok
  27. Black Rock
  28. Molas Wreck
  29. Napo Sario
  30. Gas Station
  31. M.U.A
  32. BDC House Reef
  33. U.W.P.A
  34. City Extra
  35. Sweet Basil
  36. Sedona Corner
  37. MD House Reef
  38. Buloh 1
  39. Buloh 2
  40. Prima Reef 1
  41. Prima Reef 2
  42. Prima Reef 3
  43. Tambala
  44. Po’opoh 1
  45. Po’opoh 2
Terakhir saya menyelam di Fukui, Lekuan 2, Muka Kampung, Muka Gereja, Mandolin, dan Lekuan 3. Di antara dive spot tersebut saya menemukan black tip sharks, napoleon, lobsters, beberapa jenis nudi branch, ghost pipe fish, dan penyu sisik.
Tidak hanya biota lautnya saja yang mengaggumkan, makanan di Manado juga nggak kalah menariknya. Saya biasa makan di seberang restaurant City Extra. Tempat makan pinggir jalan dengan makanan khas nya yaitu ikan bakar. Tapi tidak hanya ikan bakar saja, melainkan saya juga pesan ikang woku blanga yang rasanya adodo pe sadap kali jo! Dicampur dengan sambal roa dan dabu-dabu yang bikin pingin balik lagi ke situ. Harganya memang tidak murah, 1 orang sekitar 70rb-an.
Saya tidak sabar menyelami tebing – tebing di Taman Laut Bunaken dengan spot –spot yang berbeda lagi. Sampai bertemu kembali, Bunaken!

(Credit photo to Patrick Seet & Marcel Rueben)